Peraturan Direktur Jenderal PHKA tentang Tata Cara Registrasi Penangkaran/Budidaya Gaharu Perlu Ditinjau Kembali

B2P2EHD (Samarinda, 8/08/2018), Dalam rangkaian kegiatan penelitian ‘Studi Tumbuhan dan Satwa Liar Yang Masuk Appendix CITES (Gaharu) secara Ekonomi dan Antropologynya’ di Kalimantan Timur yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Biologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dengan topik Potensi, Pemanfaatan dan Perdagangan Gaharu (Alam dan Budidaya). FGD ini dilaksanakan pada hari selasa, 17 Juli 2018 yang difasilitasi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam  (BKSDA) Prov. Kalimantan Timur serta dihadiri oleh berbagai pihak yaitu Dinas Kehutanan Prov. Kaltim, BAPPEDA Kaltim, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, UPT KLHK (BPDAS, BPHP Wil.XI, B2P2EHD-Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa), KPHP Santan, KPHP Bengalon, Stasiun Karantina Samarinda, Pengusaha, pedagang pengumpul gaharu, LSM (Jaringan Advokasi Tambang – Jatam dan Yayasan Bioma).

Pada kesempatan ini dipaparkan hasil temuan lapangan dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh tim peneliti LIPI di Lombok, NTB yaitu ‘Studi Tumbuhan dan Satwa Liar Yang Masuk Appendix CITES (Gaharu) secara Ekonomi dan Antropologynya: Studi Kasus di Nusa Tenggara Barat’. Untuk melengkapi informasi tentang topik dimaksud, pemaparan selanjutnya berasal dari beberapa narasumber yaitu:

  1. Ketentuan Jenis Gaharu/Kemedangan di Prov. Kalimantan Timur (BKSDA Kalimantan Timur)
  2. Potensi Pengolahan dan Pemanfaatn Gaharu (Fak. Kehutanan Universitas Mulawarman)
  3. Sekilas Pengalaman Inokulasi Pembentukan Gaharu (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa)
  4. Pengembangan Demplot Agroforestry (Gaharu dll) dan Pengalaman Pendampingan Masyarakat di KHDTK Sebulu, Kalimantan Timur  (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa)

 

Selama ini bahwa perdagangan gaharu masih mengandalkan gaharu dari hutan alam yang tumbuh secara alami. Harga yang tinggi untuk gaharu dan penipisan sumber daya lokal di alam telah menyebabkan berbagai upaya untuk merangsang pertumbuhan gaharu dan melakukan upaya budidaya penanaman kembali tanaman penghasil gaharu.

Dalam diskusi ini yang menjadi perhatian adalah bahwa telah banyak masyarakat yang menanam dan membudidayakan pohon penghasil gaharu di Kalimantan Timur, baik di lahan sendiri maupun di lahan yang berstatus kawasan hutan negara. Dalam konteks kegiatan perhutanan sosial (PS) yang dilakukan dengan berbagai skema seperti Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Kemitraan Kehutanan, pemerintah mengalokasikan areal kawasan hutan untuk kegiatan PS. Jenis pohon penghasil gaharu merupakan pohon yang disarankan untuk ditanam karena diketahui mempunyai potensi ekonomi yang tinggi dengan pola agroforestry di areal kawasan hutan negara tersebut.

Sementara dalam rangka mendukung upaya pemanfaatan hasil penangkaran/budidaya gaharu pemerintah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. P.25/IV-SET/2014 tentang Tata Cara Registrasi Penangkaran/Budidaya Gaharu. Dalam peraturan ini dimaksudkan bahwa Registrasi penangkaran/budidaya gaharu adalah pendaftaran kegiatan penangkaran/budidaya gaharu yang dilakukan oleh pelaku/pemilik usaha penangkaran/budidaya gaharu kepada Kepala Balai Besar KSDA atau Kepala Balai KSDA, untuk mendapatkan pengakuan bahwa gaharu yang dihasilkan merupakan gaharu hasil penangkaran/budidaya (pasal 1, 1).

Meskipun disebutkan dalam Pasal 1, ayat 4 yaitu gaharu hasil penangkaran /budidaya (artificial propagation, garden, plantation) adalah gaharu yang dihasilkan melalui budidaya tanaman dari biji atau bibit baik pada kebun masyarakat (garden) atau tanaman gaharu (production plantation) di lahan hak milik (private or community) atau lahan milik negara (state) dan adanya campur tangan manusia yang secara khusus (inokulasi) dilakukan untuk mempercepat proses pembentukan gubalnya, dan dipertegas kembali dalam Pasal 7 tentang permohonan yang dimaksud harus memuat tentang status lahannya, namun dalam Lampiran 1 point B tentang Data Penangkaran/Budidaya Gaharu, status lahan dengan pilihan hanya Hak Milik/Sewa/HGU/Hak Pakai/dll. Status seperti yang disebutkan ini hanya mengakomodir status lahan sebagai hak milik dalan Undang-Undang Pertanahan, tapi tidak mengakomodir penanaman gaharu di lahan milik negara. Sehingga Perdirjen tersebut harus ditinjau kembali untuk mengantisipasi perkembangan ke depan.

Sebagai contoh jika ada skema bentuk Kemitraan Kehutanan yang dilakukan antara pengelola unit hutan (mis. KPH, KHDTK, HTI dll) dengan masyarakat dalam Kelompok Tani Hutan dengan pola agroforestry dan pohon penghasil gaharu sebagai salah satu jenis pohon yang ditanam, permohonan untuk registrasi penangkaran/budidaya gaharu seharusnya dilengkapi juga dengan Naskah Kesepakatan Kerjasama (NKK) yang terdiri dari Perjanjian Kerjasama Kemitraan Kehutanan, Surat Pernyataan dan Daftar Anggota Kelompok Kemitraan Kehutanan  (Peraturan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan No. P.18/PSKL/SET/PSL.0/12/2016) yang menyatakan bahwa kegiatan penanaman gaharu di areal lahan negara adalah legal.

Begitu pula dengan skema-skema Perhutanan Sosial lainnya seperti Hutan Desa (HD) dengan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm),  Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) dan Hutan Adat (HA).

 

Sumber berita/penulis:

Tien Wahyuni (Peneliti Sosiologi Lingkungan dan Kehutanan-B2P2EHD Samarinda)