Paludikultur, Alternatif Teknik Pemulihan Ekosistem Gambut Terdegradasi
Puslitbang Hutan (Bogor, 03/08/2016)_Ekosistem gambut merupakan salah satu ekosistem penting yang berperan dalam pembangunan di sektor kehutanan. Kerusakan ekosistem gambut yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pembukaan gambut, pembangunan kanal, perubahan tutupan lahan dan kebakaran, mengancam kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Paludikultur merupakan salah satu alternatif teknik pemulihan ekosistem gambut terdegradasi.
Hal ini diungkapkan oleh Hesti Lestari Tata, peneliti Pusat Litbang Hutan dalam bukunya yang berjudul “Prospek Paludikultur Ekosistem Gambut Indonesia,” yang ditulis bersama Adi Susmianto (Widyaiswara Pusat Diklat & SDM LHK).
Kebakaran gambut tahun 2015 ditengarai sebagai akibat akumulasi kesalahan kebijakan maupun teknis pengelolaan ekosistem gambut. Maka komitmen pemerintah untuk menempatkan program restorasi dan rehabilitasi ekosistem gambut sebagai prioritas dalam pengelolaan gambut di masa depan merupakan hal yang sangat penting.
“Untuk memulihkan ekosistem gambut yang rusak, diperlukan sistem dan teknik yang sesuai, yaitu dengan memperhatikan aspek ekologi, produksi dan sosial ekonomi. Paludikultur yang secara harfiah berarti budidaya di lahan basah (rawa dan rawa gambut), merupakan salah satu teknik restorasi ekosistem gambut dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Secara prinsip, paludikultur menggunakan jenis-jenis tanaman (terutama jenis-jenis lokal) yang beradaptasi dengan kondisi biofisik alami ekosistem gambut,” ungkap Hesti.
”Paludikultur merupakan implementasi ekonomi hijau atau ekonomi amanah. Pengolahan gambut tanpa bakar oleh masyarakat termasuk dalam kategori ekonomi hijau. Karena itu, untuk pengembangan dan keberlanjutan implementasi paludikultur diperlukan dukungan kebijakan insentif seperti “green lable pricing” dan fasilitasi pasar atas produk-produk paludikultur,” katanya.
Lebih lanjut Hesti mengatakan bahwa dukungan Badan Litbang dan Inovasi untuk input teknologi juga sangat penting mengingat implementasi paludikultur lebih bersifat manajemen intensif, bukan manajemen ekstensif. Untuk menjamin konsistensi dan harmonisasi implementasi paludikultur oleh lintas sektor, swasta maupun masyarakat, peran lembaga koordinasi sangat diperlukan untuk sinkronisasi program atau kegiatan, monitoring dan evaluasi pelaksaaan paludikultur dikaitkan dengan pengelolaan ekosistem gambut secara menyeluruh.
Keberlanjutan paludikultur memerlukan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut, baik di areal penggunaan lain (lahan milik) maupun di kawasan hutan (melalui skema perhutanan sosial). Kearifan lokal dan praktik-praktik paludikultur yang sudah berkembang luas di masyarakat perlu dipertahankan dan dikembangkan. Kebijakan akses (ijin) pengelolaan hutan (gambut) secara “adil” kepada korporasi dan masyarakat juga merupakan aspek penting untuk pelestarian ekosistem gambut.
“Perlu diketahui, pengendalian kerusakan ekosistem gambut, yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kerusakan, telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014. Oleh karena itu tindakan restorasi hidrologi (termasuk penggenangan kembali) dan rehabilitasi vegetasi menjadi prioritas utama dalam pengelolaan ekosistem gambut di masa depan untuk mengembalikan kondisi biofisik guna memulihkan peran dan fungsi ekosistem gambut”, tutup Hesti.***