Kratom, Hasil Hutan Bukan Kayu Potensial Yang Terancam dimusnahkan

B2P2EHD (Samarinda, 15/7/2019) Mitragyna speciosa Korth. atau dalam bahasa lokalnya disebut kratom/ketum/purik (Kalbar), kayu sapat/sepat (kalteng/kalsel), kedamba/kedemba (kaltim) merupakan tanaman tropis dari famili Rubiaceae yang berasal dari Asia Tenggara (Muang Thai, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina) dan Papua Nugini. Di Indonesia tanaman ini banyak tumbuh di Kalimantan, Sumatera, sampai ke Sulawesi dan Papua di wilayah tertentu. Kratom mempunyai habitat asli di pinggir sungai dan daerah rawa pasang surut. Jenis Balangeran dan Kruing dari famili dipterocarpaceae juga  ditemukan hidup di habitat kratom meskipun dalam jumlah sedikit. Kemampuan bertahan hidup dalam kondisi tergenang air, menjadikan kratom sangat cocok digunakan sebagai penahan abrasi sungai dan rehabilitasi lahan rawa pasang surut.

Daun kratom dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk mengatasi diare, lelah,  nyeri  otot,  batuk,  meningkatkan  daya tahan tubuh, menurunkan tekanan darah tinggi, menambah energi, mengatasi depresi, anti diabetes, antimalaria dan stimulan seksual. Efek kratom pada manusia tergantung dari dosis dan cara pemakaian. Kratom mempunyai senyawa aktif Mitragynin dan 7-hidroksimitragynin, pada dosis rendah  mempunyai  efek  stimulasi  dan  dosis lebih tinggi berefek seperti senyawa opiat  yaitu  berefek  analgesik  dan  sedasi. Selain  diambil daunnya, kayu kratom juga banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan bangunan dan meubel karena sifat kayunya yang keras dan kuat.

Di Indonesia, informasi tentang bahaya kratom masih sangat terbatas. Meskipun Badan Narkotika Nasional (BNN) telah mengindikasikan kratom ke dalam kelompok NPS4, namun kratom masih legal ditanam dan diperjual belikan. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 tahun 2018, tentang perubahan golongan narkotika, khat sudah dimasukkan sebagai narkotika tetapi belum memasukkan kratom dalam daftar tersebut.

Meskipun kratom banyak digunakan sebagai obat tradisional, tetapi Badan POM telah melarang penggunaan kratom sebagai obat tradisional dan suplemen makanan melalui Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK 00.05.23.3644 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. Peraturan   Kepala   Badan   POM   tahun   2005 Nomor HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka serta Surat Edaran Nomor HK 04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna Speciosa (kratom) dalam Obat Tradisional dan Suplemen Makanan. Akan tetapi aturan ini hanya bersifat mengikat pada produk olahan bermerek yang akan didaftarkan ke Badan POM.

Kratom merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bisa mengangkat perekonomian masyarakat. Harga jual kratom per kilogram untuk daun basah adalah Rp. 1.500,- sampai dengan Rp  3.500,-, sedangkan untuk daun kering sebesar Rp. 17.000,- sampai dengan Rp. 27.000,-. Komoditas daun kering yang berupa remahan dikumpulkan dan dikirim ke Kalimantan Barat untuk kemudian diolah menjadi tepung kratom. Tepung kratom ini selanjutnya akan diekspor ke Amerika, Kanada, Arab Saudi, India, dan Eropa.

Menurut data Pekrindo (Pengusaha Kratom Indonesia) dalam kurun waktu tahun 2015 – 2018 jumlah total ekspor kratom dari Kalimantan Barat mencapai 4.800 ton melalui para eksportir yang berjumlah kurang lebih 90 orang. Berdasarkan hasil perhitungan ekonomi, penghasilan masyarakat petani terkait pengusahaan kratom mencapai 49,2 milyar dalam kurun waktu 4 tahun.

Sejauh ini belum ada regulasi yang jelas mengenai pengusahaan maupun perdagangan kratom dalam bentuk raw material atau bahan mentah. Meskipun demikian petani kratom dihantui rasa takut ditangkap pihak yang berwajib karena masih belum ada kejelasan mengenai legalitas kratom.

Kementerian Kesehatan telah membentuk Komisi Nasional terkait Kratom yang melibatkan beberapa pihak baik dari akademisi maupun institusi. Hasil pembahasan Komisi Nasional Kratom tersebut merekomendasikan untuk memasukkan kratom ke dalam narkotika golongan I setara dengan ganja berdasarkan hasil review pustaka dari berbagai penelitian luar negeri. Akan tetapi pembahasan ini belum mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial ekonominya di masyarakat. Rekomendasi lain dari Komisi Nasional Kratom adalah mendelegasikan kepada Badan Litbang Kesehatan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan pelibatan lintas sektoral.

Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional sebagai UPT yang ditunjuk oleh Badan Litbang Kesehatan melaksanakan kegiatan Round Table Discussion (RTD) terkait kajian kratom di Hotel Solo Paragon, Solo pada tanggal 8-10 Juli 2019 dengan mengundang pihak-pihak terkait diantaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan (Bea Cukai), Kemenko PMK, LIPI, Badan Narkotika Nasional, Puslabfor Bareskrim Polri, Pekrindo (Pengusaha Kratom Indonesia), Pemda Kapuas Hulu, KPHL Gerbang Barito unit IX, RSKO dan Tim Pakar dari Institut Teknologi Bandung. Balai Besar Litbang Ekosistem Hutan Dipterokarpa turut hadir sebagai salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut untuk memaparkan kajian ekologi kratom.

Sebelumnya, peneliti Balai Besar Litbang Ekosistem Hutan Dipterokarpa, Rina Wahyu Cahyani dan Asef Kurniyawan Hardjana telah melakukan studi awal mengenai aspek ekologi dan sosial ekonomi pengusahaan kratom di wilayah kerja KPHL Gerbang Barito Unit IX di Kalimantan tengah. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa kratom diusahakan oleh masyarakat dengan cara mengambil daunnya dari alam maupun dibudidayakan di kebun atau pekarangan rumahnya. Kratom merupakan tanaman fast growing yang tumbuh secara alami di daerah zona pasang surut sungai dan rawa dengan pertumbuhan awal per tahun mencapai 2-3 meter. Morfologi tumbuhan kratom yang mempunyai kanopi melebar dan perakaran yang kuat menjadikan keberadaan kratom ini juga berfungsi sebagai pencegah erosi pinggir sungai. Di beberapa desa di wilayah kerja KPHL Gerbang Barito sebagian besar ekonomi masyaratnya bergantung pada pengusahaan kratom ini.

Rekomendasi dari hasil Round Table Discussion tersebut antara lain, perlu dilakukan riset lebih mendalam terkait aspek kesehatan berdasarkan data primer hasil penelitian dampak penggunaan kratom dan kemungkinan kratom sebagai bahan alternatif obat. Pada aspek sosial ekonomi dan lingkungan direkomendasikan untuk dilakukan kajian mengenai alternatif komoditas pengganti kratom apabila nantinya kratom dimasukkan dalam narkotika golongan I sehingga harus dimusnahkan. Komoditas alternatif yang dimaksud diharapkan bernilai ekonomi tinggi sehingga bisa memecahkan permasalahan sosial ekonomi masyarakat setempat. Dalam perspektif konservasi lingkungan, komoditas alternatif tersebut setidaknya mempunyai kemampuan yang sama dengan kratom dalam beradaptasi pada kondisi habitat pinggir sungai dan daerah rawa pasang surut. (RWC)